Dia berhasil menangkapku setelah berlarian mengejarku di antara pepohonan. Senyumnya terkembang, nafasnya sedikit ngos-ngosan. Kami bersitatap, wajahnya begitu dekat, teramat dekat, sehingga aku bisa mendengar aliran nafasnya naik turun. Tatapannya menghunjam, tajam dan dalam, seolah tahu isi hatiku. Aku terperangkap pesonanya. Lalu tangannya memegang pipiku, detak jantungku semakin cepat..semakin cepat…
“Mir Khaaaan...!” sebuah panggilan membuyarkan lamunanku. Aku tergeragap. Sakhrukh cintaku mendadak lenyap.
“Kamu duduk di belakang malah melamun aja. Maju ke depan. Kerjakan soal nomor 5”, begitu perintah Pak Makhrus, guru Matematikaku.
Aku maju ke depan, resah. Seperti pelaku hukuman mati menuju tiang gantungan. Sesampainya di depan papan tulis, aku berbisik pada guruku itu.
“Pak, saya belum paham”, ujarku malu-malu.
“Kerjakan saja, kalau tidak bisa, kamu pakai helm”, begitu jawab PakMakhrus.
Perlahan aku mengotori whiteboard dengan coret-coretanku, penuh keraguan. Sesekali menoleh ke belakang, meminta contekan dari teman.
Matematika adalah pelajaran yang cukup mudah, bila kita mengetahui rumusnya. Sayangnya sedari kecil aku kurang begitu menyukai angka-angka, sehingga merasa sulit mengikuti mata pelajaran ini. Pun ketika kelas satu SMA, guruku galak sekali. Aku pernah mendapat nilai dua untuk ulangan, dan dicecar guruku, Rasanya malu sekali.
Beruntung saat kelas dua dan kelas tiga, guru Matematikaku ganti. Pak Makhrus, bisa membuatku menikmati jam pelajaran berlangsung. Beliau hampir tidak pernah marah. Mengajarkan matematika dengan santai. Apabila tidak mood, beliau tidak akan mengajar lama-lama. Hanya mengajar sebentar, kemudian membawa kami ke kantin, untuk jajan tentunya. Ketika aku bertanya, kenapa membawa kami ke kantin, menurut beliau, berbelanja di kantin adalah aplikasi dari pelajaran matematika juga. Betul juga ya…
Hari ini materi pelajaran matematika tentang bangun ruang. Mudah, bila paham rumusnya. Sayangnya aku lupa tak belajar semalam, dan hari ini jatahku duduk di bangku paling belakang. Nyaman untuk melamun, namun sasaran empuk untuk dipanggil ke depan. Lima belas menit berlalu, aku belum juga menyelesaikan soalku. Aku ingin menyerah. Aku berbalik, menatap guruku. Beliau sedang duduk di kursiku, membuka-buka barang-barangku. Inspeksi.
“Pak, saya nggak bisa”, ujarku, memelas.
Beliau hanya tersenyum. Lalu menanyakan kepada seluruh isi kelas.
“Bagaimana? Mir Mangeskhar tidak bisa mengerjakan soalnya. Harus bagaimana?”, sambil tersenyum.
Kelas riuh dengan tawa. Yan, temanku, maju meminjamkan helmnya. Sudah menjadi tradisi di kelas beliau, yang tidak bisa menyelesaikan soal yang dikerjakan di depan, harus memakai helm dan berdiri di depan kelas selama jam pelajaran berlangsung. Malu memang, tetapi tidak menyakitkan. Karena hingga akhir semester pasti semua akan mengalaminya, tinggal menunggu giliran saja.
Lima belas menit aku berdiri di atas bangku di depan kelas dekat papan tulis mengenakan helm di depan kelas, menjadi bulan-bulanan teman-teman. Setelah puas mengerjaiku, aku diijinkan kembali ke tempat duduk.
“Makanya, kalau sedang diterangkan, jangan melamun”, begitu sindir beliau ketika aku kembali ke tempat dudukku.
“Ngeliatin foto pacar rahasianya siy…”, lanjutnya sambil terkekeh.
Hah?! Foto apa? Aku bingung. Dan aku segera tahu jawabannya segera setelah aku duduk. Foto Sakhruh Khan idolaku yang biasa kusimpan di dompet, telah berpindah tempat di atas tempat pensilku.
Sebuah catatan di balik foto itu, telah ditambahkan oleh Pak Makhrus.
I Love You.
Aaarggghh…! Malunya jadi kuadrat deh… :) :)
*pernah diikutkan dalam menulis tentang Matematika, event Mbak Nunu El-Fasa*